Desainer Berbaju Hitam
Di daerah tropis, palet warna yang menjadi preferensi atau lazim muncul di masyarakat umum adalah yang berwarna cerah. Warna-warni. Banyak warna. Saturasi tinggi. Tidak heran karena memang warna-warna yang muncul di alam sekitar beraneka warna. Ditambah lagi siraman cahaya mentari yang durasinya selalu sama sepanjang tahun membuat suasana terang dan selalu cerah.
Beda sekali dengan daerah subtropis yang mengalami musim dingin dengan waktu malam yang lebih panjang selama tiga bulan setiap tahunnya. Semakin mendekat ke arah kutub, maka durasinya akan semakin panjang. Hawa terasa lebih gelap, dingin, dan warna-warni cerahnya bunga pun akan tertimpa oleh salju. Pakaian yang dikenakan warga maupun warna-warna yang muncul di tempat umum cenderung lebih monoton, gelap, dan kurang gonjreng.
Dua buah perbandingan di atas pastinya bukan hal yang absolut karena preferensi warna orang juga bisa berbeda-beda. Namanya juga selera. Tapi kalau ada kesempatan berkunjung ke negara empat musim, apalagi saat musim dingin, mungkin akan menyimpulkan hal seperti di atas. Kalian akan menyadari betapa warna-warninya baju yang kalian miliki di koper (atau di lemari) dibandingkan orang-orang di jalanan yang mayoritas memakai jaket musim dingin tebal berwarna abu-abu, hijau tua, hitam, coklat tua, juga biru dongker.
London kelabu di musim dingin 2016. |
Lalu apa hubungannya dengan desainer dan baju hitam? Warna hitam adalah warna yang banyak ditemukan saat pemakaman tapi juga menjadi warna yang sering dikaitkan dengan profesionalisme. Tak harus mengenakan jas, cukup kaus hitam dengan bawahan hitam cukup memberikan kesan yang lebih serius dari pada setelan jas dengan warna kuning polkadot.
Pertama kali saya memperhatikan desainer dengan setelan hitam-hitam adalah saat kuliah desain di FSRD dulu. Kami kedatangan seorang dosen tamu dari Musashino Art University (alias Musabi). Panggilannya adalah Bando Sensei. Baju yang ia kenakan semuanya berupa kaos berwarna hitam. Rumor mengatakan bahwa seluruh isi lemari pakaiannya berupa kaos hitam dengan yang sama. Sepertinya hanya gosip belaka karena pada kenyataannya beliau beberapa kali mengenakan jas juga, kok.
Lalu semakin lama aku perhatikan, sepertinya memang banyak desainer dan seniman yang selalu mengenakan baju berwarna hitam. Hitam memberikan kesan misterius, formal, artistik, dan profesional. Jika tidak mengenakan hitam di kehidupan sehari-hari, pasti foto profil di website menggunakan pakaian hitam. Contohnya Zaha Hadid, Oki Sato, sampai Steve Jobs. Beberapa senior di kampus dan teman seangkatan juga milih jalan hidup dengan baju hitam setiap hari. Mungkin maksudnya berlatih sejak dini.
Ketika aku baru lulus, secara tak sadar aku ingin menjadi that designer who wears black. Masih belum jelas desainer seperti apa. Yang penting di foto profil menggunakan baju hitam, atau hampir setiap hari bisa konsisten pakai hitam. Tapi aku mencoba realistis karena kenyataannya sebagai pengguna hijab, ujung-ujungnya yang masuk foto biasanya hanya bagian kepala saja, yang artinya baju hitam belum tentu tertangkap kamera.
Hingga tiba zaman di mana Mark Zuckerberg muncul dengan kaus abu-abu dan celana jins dan berita mengatakan bahwa seluruh isi lemarinya betul berisi baju yang sama. Alasannya adalah dengan memiliki baju yang sama maka ia tak lagi perlu bingung memilih baju dan bisa mencurahkan energinya untuk hal-hal lain yang baginya lebih penting.
Lalu muncul pula gerakan minimalis yang mencoba hidup dengan benda sesedikit mungkin. Mereka bersikukuh untuk memiliki baju-baju dengan model yang sama, warna sama, supaya semakin mendukung gaya hidup minimalis, sampai sampahnya juga kalau bisa minimalis.
Sepertinya ide untuk selalu menggunakan warna hitam sangat menarik untuk dicoba. Oleh karena itu sejak beberapa tahun lalu aku memutuskan untuk mengurangi palet warna di lemari hingga menjadi warna hitam, biru tua, abu-abu, dan warna gelap lainnya. Sebetulnya tujuannya ingin mencoba supaya semua bisa jadi hitam, tapi masih suka susah diterapkan karena masih sayang dengan beberapa baju yang awet menemani hari-hariku.
Apakah hal tersebut memberikan perubahan? Ya, tentu saja. Secara teknis cukup mudah karena jadi tidak susah memilih baju yang mau dibeli maupun baju yang ingin disumbangkan karena yang warna-warna lama tak dipakai. Dengan palet warna gelap dan terbatas maka padu padan kerudung, atasan, dan bawahan juga cukup mudah dan ringkas. Yang membuat susah adalah saat kompromi menggunakan baju seragam nikahan atau acara tertentu yang seringnya berwarna cerah. Entah kenapa malah jadi terasa aneh saat memakai baju cerah karena sudah terbiasa pakai gelap.
Lalu apakah mimpiku menjadi that designer who wears black sudah tercapai? Hemat waktu untuk lebih fokus di pekerjaan? Ya, berhasil. Menjadi misterius, artistik, dan profesional berkat baju hitam? Tidak juga. Formal, yes. Tapi semua itu tidak terlalu berarti juga karena sebetulnya aku juga tidak melihat baju yang aku kenakan sepanjang waktu. Lain cerita kalau bekerja di depan cermin sepanjang waktu, ya.
Ternyata baju hanyalah kulit. Masih ada PR lainnya yang lebih besar. “Ingin jadi desainer seperti apa?” adalah pertanyaan yang jawabannya akan butuh revisi berkali-kali sepanjang perjalanan karir kreatif ini. Mungkin jawaban aku bertahun-tahun lalu saat baru lalu sudah tidak lagi relevan dengan jawabanku saat ini. Begitu juga denganmu.
- Tulisan ini telah dipublikasikan di newsletter Fadilah. Subscribe di sini.
Comments
Post a Comment