Harga sebuah Kepastian

Negara-negara maju tampaknya menjadi sebuah utopia dengan sistem transportasi publiknya yang jauh lebih maju dibandingkan Indonesia. Tidak perlu jauh-jauh mencari contoh, sebut saja dulu Thailand dan Filipina. Pada masing-masing ibu kota, Bangkok dan Manila, sudah ada sistem transportasi publik berupa kereta yang dapat diandalkan. Apalagi Singapura, negara yang luasnya bagaikan sebuah kota itu pun memiliki sistem kereta yang bersih dan modern. 

Ojek pada dasarnya adalah kendaraan umum tidak resmi karena berpelat hitam. Belum lagi tidak ada jaminan perlindungan bagi supir maupun penumpang jika misalnya terjadi kecelakaan ataupun tuntutan profesionalisme. Ojek online hadir mencoba merapikan hal-hal yang tidak terjamah oleh pemerintah, karena toh mereka bukan bagian dari transportasi umum resmi. Para driver untung, penumpang juga untung. Apa nilai paling penting dari sistem tersebut? 

Sebuah kepastian.

Mari kita ulas dari awal cerita sistem transportasi umum di dalam kota, dan dalam kasus ini adalah Jabodetabek. Tidak ada yang tahu kapan ojek, angkot, kereta, atau bus tiba. Bisa saja ketika penumpang keluar rumah, angkutan yang dicari sudah keburu pergi. Entah kapan datang yang berikutnya. Berapa jam yang harus dihabiskan untuk berangkat ke sekolah apabila cukup jauh? Siapa yang tahu. Supaya aman dan tidak terlambat, mungkin harus berangkat sekitar satu sampai satu setengah jam sebelum gerbang ditutup. Berapa ongkos yang disiapkan? Kalau angkot dan bus biasanya sudah ada tarif pasti. Tapi kalau ojek, dan bukan langganan, suka-suka ojeknya saja. Tidak ada kepastian. Tidak bisa membuat rencana yang efisien. 

Sekarang, mari kita bandingkan dengan ojek online. Dengan membuka aplikasi di smartphone, bisa diketahui perkiraan kapan akan dijemput dan berapa ongkos totalnya. Sangat efisien dan praktis. Penumpang bisa memiliki kepastian waktu dan pengeluaran.

Hingga muncullah sebuah konflik antara angkot dan ojek online. Angkot kini kalah bersaing karena ojek online bisa menawarkan kepastian kedatangan dan harga yang jujur dan aman. Driver pun lebih profesional dengan seragam. Dengan persaingan tingkat tinggi antar aplikasi ojek online, penumpang menjadi untung karena banyak potongan harga, bahkan bisa lebih murah dari pada angkot. Penumpang angkot banyak yang beralih menggunakan ojek dan angkot menjadi sepi penumpang. 

Apa yang terjadi sebenarnya?

Ojek online bukan lah sebuah solusi transportasi publik, karena memang tujuan utamanya adalah merapikan sistem perojekan agar lebih profesional. Kini penumpang menggunakan helm dan ditawarkan masker. Sementara itu, angkot yang memang berpelat kuning, masih jauh dari kata profesional karena penggunaan seragam supir pun baru sejauh formalitas belaka (itu pun hanya sebagian koperasi angkot). Angkot masih saja ngetem seenaknya berburu penumpang. Jam keberangkatan dan ketibaan angkot juga wallahua'lam. Jelas-jelas merugikan penumpang dan supir angkot. Satu-satu kelebihan yang ditawarkan angkot hanyalah atap yang menaungi ketika hujan, tapi harus siap dengan resiko segala ketidakpastiannya. 

Di saat terjadi konflik, justru ini menjadi sebuah kesempatan bagi pemerintah untuk membereskan sistem transportasi umum, terutama angkot yang sudah sangat semrawut. Yang dibutuhkan penumpang hanyalah sebuah kepastian. Kepastian waktu, kepastian tarif, kepastian supir yang profesional, dan kepastian perlindungan. 

Comments

Popular Posts