Boneka Indonesia
Setelah menonton
sebuah acara liputan di Bloomberg TV Indonesia, rasanya tangan ini gatal sekali
ingin segera menumpahkan isi kepala yang terus menerus terpupuk selama tadi
sekitar 30 menit menyimak dari televisi. Acara yang saya tonton ini membahas
pabrik boneka yang tumbuh subur, salah satunya yang dibahas adalah sebuah
pabrik di Sukabumi yang masuk ke pasar internasional.
Dari video tersebut,
tampak banyak sekali karakter global yang sudah pasti populer di kalangan
anak-anak, yang ternyata buatan Indonesia, lebih tepatnya pabrik tersebut.
Mulai dari Sonic, Barney, bermacam-macam karakter Disney, Garfield, Shaun the
Sheep, dan masih banyak lagi. Tak terkecuali boneka-boneka lain yang mungkin
tidak terlalu awam, seperti karakter boneka untuk IKEA, atau boneka-boneka
beruang lainnya. Pabrik tersebut mengadopsi sistem produksi dari Korea yang
dapat meminimalisir jumlah produk reject
karena adanya pengecekan di setiap line produksi.
Dalam hitungan jumlah, total omzet sudah mencapai di atas 10 juta USD. Sebuah
angka yang fantastis. Boneka buatan Indonesia memiliki kualitas yang lebih
tinggi dibandingkan buatan Cina, meskipun memang ongkos produksi dari Cina
masih jauh lebih murah, sehingga banyak negara yang kini telah memasarkan
produk boneka buatan Indonesia, seperti Jepang, Hongkong, Korea, Amerika, dan
juga Eropa.
Boneka IKEA buatan Indonesia (sumber: |
Ketua Asosiasi
Pengusaha Mainan Indonesia mengatakan bahwa saat ini jumlah ekspor
mainan ke luar negeri masih jauh lebih besar dibandingkan jumlah yang diimpor.
Dengan adanya kewajiban untuk sertifikasi, seperti Standar Nasional Indonesia,
ISO, dsb., menurutnya para produsen menjadi lebih diuntungkan karena dapat
menembus pasar internasional maupun pasar lokal yang saat ini sudah banyak
mensyaratkan adanya SNI sejak April 2014 lalu. Sayangnya, masih banyak produsen lokal, terutama yang
masih berskala kecil yang belum memperhatikan standar keamanan tersebut.
Meskipun sudah
banyak memproduksi boneka untuk pasar luar negeri, ternyata sang pemilik
perusahaan masih menyimpan cita-cita untuk memproduksi karakter Indonesia yang
sayang saat ini masih belum ada. Ia pun membuat sebuah perusahaan baru yang
fokus pada pasar luar negeri, dan mengatakan bahwa tahun pertama berdirinya
perusahaan boneka tersebut sangat berat. Perusahaan tersebut memiliki idealisme
untuk menjual produk yang aman sesuai standar, dan juga selalu membayar lisensi
dan royalti kepada pihak yang telah menciptakan karakter tersebut, sehingga
semuanya merupakan boneka yang resmi dijual. Menurutnya, masih banyak
orang-orang yang belum mengerti pentingnya keamanan sehingga sering mengeluhkan
tingginya harga boneka meskipun sebenarnya menjadi lebih mahal akibat
penggunaan bahan yang tidak membahayakan kesehatan. Tak hanya itu juga,
orang-orang Indonesia lebih memilih untuk membeli karakter yang sudah populer
di masyarakat, sehingga ia juga memilih untuk menjual boneka Shaun the Sheep
dengan lisensi resmi. Sampai saat ini pun ia masih belum bisa mendefinisikan
apa sebenarnya karakter boneka Indonesia yang bisa laku di pasaran dan sudah
dikenal banyak orang.
Ini dia salah satu
tantangan yang mestinya bisa dijawab. Indonesia sudah memiliki infrastruktur
dan pabrik yang bisa memproduksi, akan tetapi karena tidak ada karakter khas
Indonesia, maka produk-produk tersebut lari ke luar negeri yang memang sudah
memiliki karakternya dari film, animasi, atau games mereka sendiri. Dari acara
televisi yang saya tonton tadi, disebutkan bahwa boneka-boneka tersebut banyak
didistribusikan ke taman-taman hiburan yang juga menjadi bagian suvenir dan
merchandise dari industri film, animasi, dan games. Dari sini saya menyimpulkan
bahwa akar permasalahan tentang pemasaran boneka di dalam negeri ini bukan
hanya tentang ketiadaan karakter khas, melainkan juga dari industri film,
games, dan animasi yang belum berkembang pesat. Indonesia harus menjawab
kesempatan ini. Selama ini Indonesia lebih banyak menjadi penikmat saja, dan
baru akhir-akhir ini saja mulai bermunculan karakter-karakter baru, seperti
serial animasi Adit dan Sopo Jarwo, dll. Anak-anak Indonesia lebih akrab dengan
Spongebob, Naruto, bahkan Upin Ipin dari negara tetangga. Agar boneka dengan
karakter khas Indonesia dapat dipasarkan secara luas, berarti membutuhkan
sebuah film, atau serial animasi yang banyak muncul di hadapan masyarakat,
seperti misalnya lewat televisi, koran, majalah, ataupun buku. Dari sini, bisa
berkembang menjadi industri lain yang lebih besar, seperti film, games,
merchandise, dan hingga akhirnya muncul boneka karakter tersebut. Bayangkan ada
berapa banyak orang yang turut andil dalam rantai pekerjaan tersebut dan
memperoleh penghasilan?
Boneka yang lucu, empuk, dan enak dipeluk ternyata memiliki sejuta cerita dan sejuta peluang. Kini tinggal kita sendiri, mampukah masyarakat Indonesia memiliki sebuah boneka baru khas Indonesia yang dapat menggantikan kehadiran boneka Shaun the Sheep, Barneys, atau Spongebob di rumah?
Comments
Post a Comment