[beasiswa] pengalaman mencoba MEXT alias monbusho

Sembari mengisi waktu luang, saya ingin berbagi cerita tentang seleksi besiswa untuk Research student ke Jepang, yang diselenggarakan lewat jalur Embassy. Sudah banyak sekali cerita tentang seluk beluk meraih beasiswa (bisa cek di google, misalnya keywords: pengalaman beasiswa mext), jadi yang akan diceritakan di sini lebih ke pengalaman yang lebih 'berbeda' saja.

Seleksi beasiswa dari kedubes Jepang ini biasanya dibuka di awal tahun, sekitar April, dan bagi yang masih mengerjakan Tugas Akhir sudah bisa mendaftar, dan ijazah dapat diganti dengan surat keterangan (seperti pada kasus saya). Lengkapi berkas dan kirimkan ke kedubes sebelum deadline. Waktu itu saya mendaftar bersama teman saya, Sakinah yang baru akan wisuda di bulan April, sementara saya masih TA dan akan wisuda Juli.

Singkat cerita, dokumen dikirim dari Bandung, dan akhirnya tiba pengumuman hasil seleksi berkas. Alhamdulillah saya lolos. Tahap selanjutnya adalah tes tertulis, yaitu Bahasa Inggris dan Bahasa Jepang (katanya yg akan dinilai hanya salah satu saja yg terbaik), dan juga wawancara. Saya memilih lokasi Jakarta, dan informasi ada di lembar pengumuman.

Beberapa hari sebelum tes tertulis, saya sedang sibuk-sibuknya mengikuti lomba suvenir Jakarta, hingga terjadi sebuah hal yang sangat menegangkan. Di hari tes tulis, saya sudah datang pagi-pagi nebeng mama-papa ke kantor, berangkat seusai solat subuh. Karena takut macet, saya memilih menunggu di kantor yang letaknya tak terlalu jauh dari Kedubes. Kira-kira 45 menit sebelum ujian, saya keluar kantor, dan berjalan menuju halte busway terdekat. Sayangnya, ternyata Halte Karet sedang direnovasi, shingga saya terpaksa naik metromini dan turun di Bundaran HI. Waktu menunjukkan pukul 10.30 ketika saya sampai di depan kedubes.

"Pak, yang ujian untuk beasiswa ke mana ya?" Saya bertanya ke Pak Satpam. Mukanya tampak kebingungan, bahkan ia berkonsultasi dengan orang di balik pintu sebentar.

"Saya baru tahu ada info ujian beasiswa, tapi coba saja ke lantai dua," katanya.

Saya pun naik menuju lantai dua dengan terburu-buru. Pukul 10.40, tapi tidak ada tanda-tanda kehidupan di lantai dua. Jantung saya berdebar semakin keras. Apa maksudnya? Apakah saya terlambat? Katanya harus tiba di lokasi 30 menit sebelum ujian mulai pada 11.00. Saya kembali mengecek isi dokumen pengumuman di hape, dan membacanya pelan-pelan. Jeng jeng....

Ternyata yang memilih lokasi ujian Jakarta, lokasi tes berada di Pusat Studi Jepang UI, yang tak jauh dari rumah saya. Oh oh oh. Pengumuman lokasi tes tulis dan wawancara terletak di halaman yang sama dan saya tidak membaca dengan seksama. Lutut saya lemas membayangkan tangan yang menggenggam pasir dan butirannya jatuh perlahan. Masa begini saja menyerah? Ini kesempatan yang belum tentu semua orang bisa ikut. Masa saya harus menunggu lagi satu tahun untuk kesempatan ikut seleksi? Spontan saya langsung menelepon ayah, sambil berjalan terburu-buru keluar gedung kedubes. "Yah, gimana nih, ternyata tesnya di UI, salah lokasi."

"Langsung naik ojek saja, coba naik kereta."

Saya berjalan ke arah Bundaran HI, dan tak lama saya dihampiri tukang ojek.

"Ojek, Pak!" Saya langsung memakai helm dan naik ojek. Jam menunjukkan pukul 10.45. Sesungguhnya tampak mustahil mencapai UI tepat waktu. Apalagi orang Jepang kan terkenal sangat tepat waktu.

"Ke mana, mbak?" tanya Pak Ojek.

"Aduh ke mana ya Pak, saya harusnya mau ujian di UI tapi sepertinya sudah terlambat. Coba ke arah stasiun Gondangdia, Pak," jawab saya yang juga masih bingung menentukan arah.

"Langsung ke UI juga bisa aja, tapi berani bayar berapa dulu," ujar Pak Ojek yang sudah menjalankan motornya ke arah stasiun Gondangdia.

"Hm, kalau stasiun jam segini yang ke Depok nggak banyak ya, Pak?" Saya semakin tertekan untuk mengambil keputusan. Win or lose. Kalau mau menyerah sih gampang banget, tinggal ke stasiun, pulang ke Depok. Tapi masa gitu. "Ya udah, Pak, langsung saja ke UI. Yang ngebut ya Pak, Tesnya sebenarnya jam 11 mulai." Tik tik tik. Waktu terus berjalan.

Katanya,, kalau tanpa macet bisa 46 menit. Jarak tempuh sampai Pusat Studi Jepang (nggak beda jauh lah sama Balairung) adalah 25 km. Seandainya nggak macet, seandainya nggak banyak lampu merah. 


"Iya, ini lewat Kalibata ya, kayaknya nggak macet. Kebetulan saya juga orang Depok." Kata-kata Pak Ojek sedikit menenangkan hati saya yang masih tak karuan.

Di jalan, saya mencoba menghubungi nomor kontak pusat studi Jepang beberapa kali. Sepertinya diangkat, namun apa daya, bisingnya jalanan mengalahkan suara telepon dengan volume maksimal. Waktu menunjukkan pukul 10.50, masih di daerah Pasar festival, Kuningan. Saya menyerah menelepon, dan hanya bisa berdoa sepanjang perjalanan, dan memikirkan berbagai skenario, sampai rencana menangis dengan air mata berlinang supaya diperbolehkan ikut ujian.

(bersambung)....

baca kelanjutannya di sini.

Comments

  1. yah masih bersambung.......plis lanjutin dil aku udah gasabar pengen denger cerita lanjutannya...:''''')

    ReplyDelete
  2. pantesan kata lo penuh drama ya fad wkwkwk

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts