Prahara Tertinggal Pesawat (bukan saya, lho)

Berhubung saat ini saya sedang menetap di Osaka, kesempatan untuk jalan ke negeri seberang alias Korea Selatan tentu tidak akan saya lewatkan. Jarak dari Kansai International Airport ke bandara Incheon hanya sekitar 90 menit perjalanan udara. Bahkan mungkin sedikit lebih dekat dibandingkan dengan Osaka-Sapporo.

Di Jepang, ada sebuah LCC (Low Cost Carrier) semacam AirAsia, yaitu Peach, dan untungnya maskapai tersebut beroperasi dari bandara Kansai. Untuk mendapat tiket murah, saya dan dua orang teman Indonesia, Deasty dan Mbak Tri, sudah memesan tiket dari jauh-jauh hari.

Seperti biasa, saya memiliki banyak waktu luang untuk iseng mencari dan menjelajah beragam lokasi untuk jalan-jalan, berikut pula tiket pesawat, kereta, maupun bus. Kebetulan, Peach sedang ada promosi, termasuk penerbangan ke Seoul. Langsung saya mengontak beberapa teman lainnya, namun ternyata mereka masih ragu-ragu, atau sudah ada rencana lain, dan akhirnya saya mengajak Deasty dan Mbak Tri saja. Tiket akhirnya dibeli, setelah berkali-kali proses booking-cancel-booking-cancel karena ragu jam keberangkatan, masalah nama di tiket dan paspor, dan nomor paspor saya yang sempat salah tulis. Asyiknya juga, kalaupun tidak memiliki kartu kredit, tiket pesawat masih bisa dibayar di konbini alias convenience store terdekat. Tiket pulang-pergi termasuk bagasi satu orang untuk kepulangan (dengan asumsi bakal belanja kosmetik dan semacamnya yang tidak bisa masuk ke kabin) dibeli sekitar 10 ribu yen, atau sekitar satu juta rupiah (kira-kira 1 yen=100 rupiah).

papan pengumuman di dekat tempat check-in
Tak terasa, hari keberangkatan pun semakin dekat. Sebelumnya, Mba Tri selaku pemegang lembaran tiket hasil print, sudah mewanti-wanti untuk datang lebih awal karena in adalah penerbangan internasional, dan katanya check-in paling lambat 50 menit sebelum keberangkatan. Pesawat kami berangkat pukul 14.00 JST, dan berhubung jarak ke bandara Kansai yang cukup jauh, sekitar 2 jam, Mba Tri mengajak untuk berangkat naik kereta 10.47 dari Minamisenri.

Hari H pun tiba. Saya bangun pagi-pagi dan langsung packing lalu sedikit membereskan kamar. Saya mencoba menghubungi Deasty via sms tentang keberangkatan 10.47, tapi tak ada balasan. Saya juga coba memberi tahu lewat facebook, tapi tetap juga nihil. Saya telepon juga HP dan juga kamarnya, tapi tetap tak ada jawaban. Takutnya, lagi-lagi Deasty ketiduran, seperti waktu kami akan berangkat ke Tokyo. Tapi setelah saya ke kamarnya, memanggil dan mengetuk pintu, kamarnya terkuncu dan tak juga ada jawaban. Mba Tri menelepon, dan saya curhat soal Deasty yang tak kunjung memberi jawaban. Akhirnya dibuatlah kesimpulan, Deasty sudah dewasa (loh?), jadi pasti nggak masalah kalau berangkat sendiri.

Akhirnya saya berangkat sendiri dari dorm sambil menggeret koper kecil menuju Minamisenri, dan bertemu Mba Tri untuk mengejar kereta 10.47. Mba Tri sebenarnya adalah tipe orang yang nggak suka buru-buru kalau sudah menyangkut janji, apalagi penerbangan internasional. Prinsipnya adalah tiba lebih dulu supaya tidak khawatir dan tidak merepotkan orang. Saya sih percaya saja, dengan kereta 10.47 bisa mencapai bandara dan tiba tanpa harus buru-buru check-in dan sebagainya.

Di kereta, Deasty baru memberi kabar, bahwa ternyata ia pergi dulu ke lab dan saat itu sudah siap pulang ke dorm untuk mengambil koper, lalu langsung ke stasiun. Saya dan Mba Tri berasumsi mungkin pukul 11.00 dia sudah sampai stasiun untuk naik kereta. Ternyata oh ternyata, ketika pukul 11.30, Mba Tri mendapat sms dari Deasty, yang menanyakan apa mau dibawakan laptop. Selain itu dia juga bingung, mau bawa termos atau tidak. Wah, sudah jam 11.30 dan dia belum berangkat. Kami sudah tidak bisa bilang apa-apa, dan hanya bisa berharap Deasty tiba dengan selamat dan bisa mengejar pesawat seperti di film Home Alone.

Kami sampai di bandara sekitar pukul 12.30, dan masih harus naik bus sekitar 5 menit menuju terminal 2. Setelah beberapa saat ke toilet, membeli oleh-oleh untuk Mbak Nyayu di Korea, akhirnya kami tiba di terminal 2 sekitar pukul 12.45. Proses check-in ternyata cukup berbeda, tidak bisa dilakukan sendiri di mesin, tapi harus mengantre di loket karena petugas harus memeriksa paspor kami. Saat itu, Deasty masih di kereta menuju bandara, dan sepertinya masih lama. Kami memberi tahu petugasnya bahwa salah seorang teman kami masih di jalan dan kami mencoba sedikit bernegosiasi soal waktu check in, tapi ternyata tetap tidak bisa dimundurkan lagi. Apalagi kami tidak bisa mewakilkan proses check in, seperti pada penerbangan Peach yang domestik, karena ada adegan pemeriksaan paspor.

Meminjam istilah Mbak Tri, yaitu 'shock therapy', sepertinya 80% kemungkinan Deasty akan tertinggal pesawat dan akan menjadi pelajaran berharga bagi dia (dan juga kita semua) agar meluangkan waktu lebih awal untuk berangkat ke bandara. Setelah mengantre untuk check-in, tiket dan paspor diperiksa dengan hati-hati dan cukup lama (nama depan dan nama tengah kami digabung tanpa spasi dan petugasnya sedikit repot mencocokkan nama paspor dan tiket), kamu langsung ke boarding gate dan melalui pemeriksaan, lalu saya sholat sebentar di ruangan tempat ganti popok bayi. Setelah itu, saya bertemu Diego, eh Pablo dan temannya Niklas yang juga akan berangkat dengan pesawat yang sama ke Seoul. Baru saja berbincang sesaat, ternyata penumpang sudah dipanggil untuk masuk ke pesawat. Mba Tri yang tadinya mau makan bekal onigiri yang dia bawa bahkan tidak sempat, karena ternyata kami pun sudah termasuk "di ujung tanduk". Saat itu Deasty sepertinya baru saja tiba di bandara, tapi sepertinya juga sudah tidak mungkin untuk melalui proses check-in, pemeriksaan, dan juga imigrasi sekejap mata. Di dalam pesawat, tempat duduk yang seharusnya untuk Deasty akhirnya diisi oleh seorang cewek Jepang, dan saya tidak bisa menaruh jaket di kursi antara saya dan Mbak Tri.

Dengan ini, Deasty resmi ketinggalan pesawat ke Seoul. Annyeong!


Comments

Popular Posts