Sebelumnya mayoritas, kini minoritas

Saya adalah seorang muslimah yang lahir dan besar di sebuah negara yang memiliki populasi muslim terbesar di dunia, Indonesia. Segala kewajiban, seperti sholat lima waktu, makan makanan halal, hingga menggunakan hijab, merupakan hal yang lumrah dan banyak dilakukan oleh orang Indonesia. Segalanya terasa sangat normal sehingga tidak terasa memberatkan, karena toh, memang semua orang juga melakukannya. Segala perintah untuk melaksanakan kewajiban tersebut sudah tertulis di Al-Quran dan dari berbagai macam hadits.

Di Indonesia, kebanyakan masyarakatnya menurut saya sangat relijius. Pada kartu identitas kependudukan alias KTP pun wajib mencantumkan agama. Agama sepertinya sangat vital bagi rakyat Indonesia, yang semoga memiliki akhlak sebagai umat yang beragama. Mayoritas muslim yang saya tahu selalu menjalankan kewajiban untuk sholat. Masyarakat selain muslim pun hampir semua selalu taat dengan beragam ritual dan peribadatannya. Benar-benar sangat berbeda dengan apa yang saya alami sekarang di sini, Jepang, negeri Doraemon.

Jumlah muslim yang ada di Jepang menurut sebuah artikel di wikipedia, ada sekitar 160.000-170.000, yang hampir separuhnya adalah warga asli Jepang. Jumlah tersebut tidak akurat karena memang Jepang tidak pernah mempertanyakan agama seseorang dalam hal kependudukan. Sepertinya agama di sini bukanlah sebuah masalah penting, karena katanya Jepang sangat membebaskan warganya untuk memeluk agama apa pun, atau bahkan tidak beragama pun tidak apa-apa.

Di Jepang ada banyak temple dan shrine. Temple untuk Buddha, sementara shrine untuk Shinto. Akan tetapi sepertinya bagi kebanyakan orang tidak masalah, karena banyak juga yang pergi ke temple dan shrine dan beberapa malah melangsungkan pernikahan di gereja. Hari Natal juga tak lupa mereka rayakan dengan meriah. Banyak orang yang memilih untuk tidak terlalu percaya dengan satu agama tertentu. Akan tetapi, mereka banyak yang percaya dengan berbagai mistis, termasuk omamori alias jimat.

menggantungkan harapan, seharga sekitar 500 yen

Menjadi muslim di Jepang berarti menjadi kelompok minoritas yang sepertinya sangat asing bagi sebagian orang yang tidak terlalu terbuka dengan kabar dunia internasional. Apalagi menjadi seorang muslimah yang mengenakan hijab, siap-siap menerima pandangan "lain" dari orang-orang. Biasanya, anak-anak kecil termasuk anak SD yang suka terang-terangan melakukan hal itu. Bahkan ada beberapa yang menyapa kami sambil bersorak-sorak riang gembira ketika saya dan beberapa muslimah Indonesia lainnya sedang berjalan di pinggir jalan raya. Unik kan? Tinggal dinikmati saja, senyum, dan pada akhirnya menjadi terbiasa dengan berbagai respon.

Sebelumnya, saya belum pernah ditanyakan secara langsung mengenai alasan kenapa mengenakan jilbab, sholat lima waktu, dan mengenai tidak makan dan minum bahan tertentu. Di Indonesia, semua orang memang sudah tahu tentang Islam dan muslim, sehingga tak perlu lagi bertanya secara langsung kepada saya. Mungkin ada, tapi hanya sekedar sejak kapan saya mulai mengenakan hijab. Di Jepang, bersama banyak mahasiswa internasional lainnya, akhirnya saya ditodong beberapa pertanyaan yang sebenarnya cukup serius. Misalnya, mengapa wanita muslim harus pakai hijab? Mengapa saya harus sholat lima waktu? Apakah tidak terlalu repot dan mengikat? Apakah saya mengenakan hijab sepanjang waktu? Kenapa babi haram? Pertanyaan terakhir itu cukup sulit, karena saya tidak bisa jawab bahwa babi itu kotor berhubung saya berada di Jepang yang pasti sangat menjunjung tinggi kehigienisan daging.

Segala pertanyaan tersebut secara tak langsung menjadi pengingat bahwa saya masih harus belajar. Seringkali saya suka ragu-ragu dan berpikir sedikit lama dalam menjawab. Pertama, karena kadang saya tidak tahu apa versi bahasa inggris dari apa yang mau saya kemukakan. Kedua, saya tidak ingin memberi jawaban asal dan mungkin malah bisa meyesatkan. Memang, saya harus lebih banyak belajar lagi. Walaupun dipandang aneh, tapi orang-orang di sekitar yang tidak (terlalu)  beragama memang cukup pengertian (atau sebenarnya masa bodoh?). Tidak ada yang tahu kan, kapan dan apa pertanyaan menyentil lainnya yang akan ditanyakan?

Comments

  1. Assalamu'alaykum. Salam kenal. Tidak sengaja barusan menemukan blognya. Saya kebetulan pernah tinggal di suatu negara, di mana saya menjadi Muslim minoritas juga. Saya merasa bersyukur dikasih kesempatan sama Allah SWT untuk mengalaminya. Saya jadi banyak belajar tentang Islam (di banding waktu masih di Indonesia) & bertemu dengan Muslims dari seluruh penjuru dunia juga ^_^

    ReplyDelete
  2. waalaikumussalam.. iya bener banget. keimanan makin diuji dan harus makin banyak belajar supaya bisa menjawab pertanyaan orang-orang tentang islam.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts